“Crisis” Antara Kritik, Konseptual dan Penyadaran dan Semangat Baru
Sebuah Pengantar
Sesungguhnya Jimbafest menyelenggarakan pameran “Crisis” ini dimulai dari kegelisahan saya melihat perkembangan krisis multi dimensi yang ada di Bali. Kemajuan Bali yang sangat tergantung dengan industri pariwisata nampaknya tidak berbanding lurus dengan dampak yang diikutinya. Berbagai peristiwa yang mengkhawatirkan bagi Pulau Bali yang ditunjukkan dari kerusakan lingkungan, tatanan sosial dan budaya, secara pelan dan cepat telah mengancam sendi-sendi kehidupan, bahkan daya tarik dari Pulau Bali sendiri.
Sampah plastik di pantai-pantai Bali, entah dari mana datangnya, apakah dari dalam dan luar Bali, penanganan sampah yang masih belum jelas arahnya, penggerusan tebing-tebing, penggundulan hutan, punahnya species tanaman maupun hewan, dampak perubahan iklim, dan sebagainya menimbulkan akibat yang dapat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Belum lagi, ketika nilai atau ukuran komersialisasi seiring peningkatan permintaan pengalaman tradisi dan ritual yang dikomoditisasi dan eksploitasi.
Bali semakin bergeser pada citraan untuk dijual “for sale”. Kemudian, penggerusan atau alih fungsi lahan-lahan dalam zonasi hijau maupun spiritual semakin memperparah kemerosotan tatanan lingkungan, nilai sosial dan budaya. Lebih parahnya lagi ketika kesemuanya bertemu dengan gaya hidup modern yang kesemuanya ditopang oleh jiwa-jiwa konsumtif, semakin lengkaplah bahwa Bali dalam posisi “Crisis” yang menunjukkan tanda alarm bahaya terus menyala.
Karena itu, Crisis selanjutnya menjadi pertimbangan serius yang harus disampaikan kepada khalayak luas, bagaimana menjaga Bali dengan ajeg yang tidak sebatas slogan-slogan yang menggemaskan seolah-olah masalah dari Crisis itu terselesaikan. Perlu berhari-hari saya merenungkan, mengangkat situasi Bali ini menjadi sebuah suara yang dapat menyampaikan perubahan menuju arah kebaikan.
Seperti biasa, karena saya banyak dikelilingi sahabat-sahabat maupun komunitas, maka saya menyodorkan gagasan Crisis kepada Yudha Bantono dan Jean Couteau. Dua orang sahabat dekat dalam satu circle seni budaya di Bali ini merespond dengan begitu cepat, dan sama-sama menyadari untuk segera dihadirkan dalam kegiatan seni yang dapat membangun kesadaran kritis. Dari kolaborasi kami bertiga sepakat membuat pameran seni rupa dan mengunci Crisis sebagai temanya.
Kami bertiga lantas memulai pembicaraan untuk melibatkan networking internasional dalam mendukung dan merealisasikan pameran Crisis. Karena Crisis bukan hanya di Bali tapi juga dunia. Berikutnya muncul pertanyaan, apakah pameran seni rupa Crisis memerlukan ruang yang dapat menampung karya-karya peserta pameran?. Tentu jawabannya adalah iya. Belum berhenti dari pertanyaan tentang keperluan ruang pameran, apakah harus membuat atau memanfaatkan ruang yang ada ?, maka jawabannya selanjutnya adalah membangun ruang pameran. Dalam hitungan hari, kurang lebih satu bulan akhirnya ruang pameran dapat dirampungkan, dan hadirlah art space di pelataran Jimbaran Hijau yang saya namai Jimba Art Hall.
Saya merasakan kemajuan seni ke depan akan semakin inklusif dan modern. Jika Bali ingin menjadi pemain utama dan memiliki ciri khas tersendiri, maka mau tidak mau dengan sendirinya harus mengikuti akselerasi peradaban global. Untuk itu Jimba Art Hall dalam posisi akselerasi global diharapkan dapat memberi semangat dan energi, menjadi penghubung, sekaligus dapat mengaktivasi kehidupan berkesenian yang berjejaring dalam sekala besar, tentu dengan tanpa meninggalkan identitas maupun cara Bali yang sudah kuat, dan tetap perlu dijaga.
Tanpa melihat kembali ke belakang dengan segala kekurangan dari pengalaman Bali tentang kemana arah perkembangan seni rupanya. Maka di sinilah kemudian saya merasa “jengah”, atau menunduk untuk segera melakukan perubahan dengan menumbuhkan inovasi dan bergerak sesegara mungkin. Jimba Art Hall yang saya hadirkan ingin mengajak secara bersama-sama berbagai elemen yang berkaitan dengan infra struktur seni rupa, stakeholders pemangku kebijakan, dan masyarakat secara luas untuk kemajuan seni rupa Bali. Jimba Art Hall adalah tempat baru, yang ingin menghadirkan spirit baru, dan memiliki keyakinan bahwa bila kita melakukan bersama-sama akan bisa dan mampu mengikuti era baru.
Dalam keterkaitan mengangkat tema Crisis di pameran seni rupa di Jimbafest 2024, ada kecenderungan bahwa pameran kali ini memang membawa pembicaraan dan perdebatan tentang seni rupa yang berkaitan dengan muatan kritik, konseptual dan penyadaran. Kenapa demikian ?. Karya-karya seniman yang hadir dalam pameran “Crisis” mencakup berbagai ekspresi, kreativitas, dan keterlibatan pemikiran yang kaya, semakin menggiring saya untuk bisa masuk lebih dalam tentang gagasan para seniman.
Karya-karya seni seniman dalam pameran Crisis saya kira akan menjadi cermin yang memantulkan kenyataan di planet bumi saat ini, menangkap semangat zaman dari berbagai masa, dan menyediakan ruang untuk berkonstribusi pada perubahan. Di masa krisis global, baik itu sosial, budaya, kerusakan dan bencana lingkungan, atau ketidakadilan sosial, dan kemanusiaan, kritik seniman memainkan peran penting dalam mengkaji dan menafsirkan narasi yang muncul tentang dunia yang penuh gejolak.
Sedangkan bila membicangkan konseptual, sangat terlihat karya-karya seniman kebanyakan mengutamakan gagasan daripada estetika, termasuk pemilihan material yang digunakan. Karya-karya seniman sangat menantang pemirsa pameran untuk terlibat dengan konsep yang diangkat dan dijalinkan ke dalam karya-karyanya.
Ketika dunia sedang mengalami krisis, seni konseptual telah berkembang menjadi media yang kuat untuk mengkritisi dan merefleksikan krisis yang terjadi . Karya-karya yang konseptual pada dasarnya bersifat provokatif positif, sehingga ketika pemirsa mulai memahami karya-karya itu, maka akan mendorong turut terlibat dengan isu-isu yang dihadirkan, daripada sekadar mengonsumsinya secara pasif.
Jimbafest dalam perjalanan yang ke 11, Tahun 2024 ini menandai perjalananya ingin menempatkan seni rupa dalam sebentuk proyek seni yang sarat akan refleksi dan provokasi yang lebih bermakna, dan juga berfocus pada perubahan kehidupan yang lebih baik.
Selaku founder Jimbafest, tentunya bukan sebuah kebetulan bila 11 tahun perjalanan Jimbafest kami tandai dengan melibatkan 13 seniman untuk merespond proyek seni “Crisis”. Ketiga belas seniman dalam pameran masing-masing telah berupaya untuk melihat kembali dan mengamati kenyataan, menggali permasalahan, merespon apa yang terjadi, serta menghadirkan dan menyuguhkan ulasan akan posisi dirinya sebagai studi kasus, melihat berbagai penurunan kualitas yang menjadi “crisis” kehidupan di muka bumi ini.
Saya menyambut baik pameran seni rupa “Crisis” sebagai sesuatu yang konseptual dan memiliki nilai kritik serta penyadaran yang sangat berarti. Saya berharap karya-karya ketiga belas seniman yang terlibat dalam proyek seni crisis dapat menjadi penafsiran menarik, bukan hanya menunjukkan hasrat turut serta berselebrasi bersama dalam sebuah pameran semata, melainkan menjadi gambaran permasalahan besar “Crisis” yang secara ironis kadang tidak nampak, bahkan bisa berubah-ubah wujud.
Meskipun ini baru permulaan atau langkah awal, saya yakin dengan niat baik dan tulus, serta adanya dukungan banyak pihak, saya yakin Jimba Art Hall dapat menjadi tempat alternatif baru yang dapat menampung dan menggerakkan kegiatan seni rupa baik tradisional maupun modern dan kontemporer. Untuk itu saya mengucapkan terimakasih kepada Yudha Bantono dan Jean Couteau atas dukungan secara bersama-sama dalam mewujudkan pameran Crisis. Kepada seniman yang turut serta dalam pameran: keluarga almarhum Made Wianta, Made Bayak, Gilang Propagila, Jango Pramartha, Wayan Upadana dan Arkiv Vilmansa. Sedangkan dari manca negara diantaranya Paul Trinidad, Jon Terry, Jerremy Blank, Antony Muia, Vladimir Todorovic, saya mengucapkan terimakasih dan apresiasi yang sangat tinggi. Juga kepada seluruh team pembangunan Jimba Art Hall yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, saya mengucapkan banyak terimakasih, dimana waktu lima minggu adalah pekerjaan yang tidak mudah, dan kita bisa merealisasikannya.
Saya yakin Jimba Art Hall akan membuka berbagai kemungkinan, menciptakan landasan dan kajian baru bagi wacana dan praktek berkesenian, menawarkan gagasan,dialog dan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk lintas disipliner baik nasional maupun internasional. Dan Pameran Seni Rupa Crisis adalah sebuah cara untuk membuka mata dan hati kita semua, bahwa sekali lagi dunia kita sedang tidak baik-baik saja. Dan dari Bali kita tidak diam, tapi sedang bersuara bagi kebaikan dunia.
“Crisis” Between Criticism, Concept and Awareness, and Renewed Spirit
An Introduction
In fact, Jimbafest is holding this ‘Crisis’ exhibition as a response to my anxiety seeing the development of what can only be described as a multi-dimensional crisis in Bali. Bali’s progress, which is highly dependent on the tourism industry, does not seem to be directly proportional to the relatively negative impacts that have followed. Various worrying events for the island of Bali, which are being manifested in environmental damage as well as damage to social and cultural order, have slowly and quickly weakened the joints of life, even affecting the overall appeal of the island of Bali itself.
Plastic waste on Bali’s beaches, who knows where it comes from, whether from inside or outside Bali, waste management that is still unclear in its direction, the erosion of cliffs, deforestation, the extinction of plant and animal species, the impact of climate change, and so on, all have consequences that are being felt both directly and indirectly. And then there is rapid acceleration of commercialisation, along with the increasing demand for traditional and ritual experiences that are increasingly being commodified and exploited.
Bali is increasingly acquiring the character of a place that is ‘for sale’. The erosion or conversion of land in green and spiritual zones is further exacerbating the decline of the environment, and of social and cultural values. And things become worse still when all of this meets with a modern lifestyle supported by the spirit of consumerism, providing yet more evidence that Bali is in ‘Crisis’. Not surprisingly, the danger alarms are sounding more and more.
For all of these reasons, the next Crisis is a serious consideration that must be communicated to the wider public, who urgently need to start thinking about how to maintain Bali with a stability that is not limited to adorable slogans as if the problem of the Crisis has already been resolved. It has taken me days to reflect on ways to give voice to this situation in Bali and to make people aware of the need for a change for the better.
As usual, because I am surrounded by many friends and enjoy much community support, I submitted the idea of Crisis to Yudha Bantono and Jean Couteau. These two close friends from the Bali art and culture circle responded promptly, both realising that this is an issue that deserves to be addressed swiftly in the form of art activities designed to build critical awareness. From our collaboration, the three of us agreed to create an art exhibition and we agreed on ‘Crisis’ as the theme.
The three of us then began a discussion to involve international networking in supporting and realizing the Crisis exhibition, since, after all, Crisis is not only affecting Bali but also the whole world. The next question arose, does the Crisis art exhibition require a particular space that can accommodate the works of the exhibitors? Of course the answer is ‘yes’. And then there was the question of whether to create a space or utilize existing space? The decision was to custom-build a space, a feat that was miraculously achieved in just one month, the result being Jimba Art Hall, situated in the Jimbaran Hijau courtyard.
I feel that the progress of art in the future will become increasingly more inclusive and modern. If Bali wants to be a major player in the art world, and to wishes to establish and maintain its own characteristics, then inevitably it must follow the acceleration of global civilization. In this sense, Jimba Art Hall will occupy a global position and is expected to provide enthusiasm and energy, to become a connector, and at the same time to be able to activate a networked artistic life on a large scale, of course without leaving behind Balinese identity or the Balinese ‘way’, that is already strong, but which still needs to be nurtured and maintained.
Jimba Art Hall will not be treated as an opportunity to reflect on the shortcomings of Bali’s experience and the developmental direction of its fine art. That business makes me feel so “fed up” And we are not about to make hasty changes, to foster innovation only to move on as soon as possible. The Jimba Art Hall that I present invites various elements related to the fine arts infrastructure to work together – stakeholders, policy makers, and the wider community – for the long-term advancement of Balinese fine arts. Jimba Art Hall is a new place, which aims to present a new spirit, based on the belief that if we do it together we will be able and capable of following the latest trends while at the same time maintaining something of tradition.
In relation to raising the theme of Crisis at the fine arts exhibition at Jimbafest 2024, it may well be that this exhibition does inspire discussions and debates about fine arts that are critical and conceptual in their awareness of content. Why is this? The works of the artists present in the ‘Crisis’ exhibition encompass a wide variety of expressions, creativity, and rich thinking, all of which has increasingly enabled me to delve deeper into the respective ideas and mindsets of the artists.
I think the works of art by the artists in the Crisis exhibition will serve as a mirror that reflects the reality on planet Earth today, capturing the spirit of the times from various eras, and providing a space for us all to contribute positively to change. In times of global crisis, be it social, cultural, environmental damage and disaster, or social and human injustice, art criticism plays an important role in examining and interpreting the narratives that emerge in response to a world full of turmoil.
Meanwhile, when discussing concepts, it is very clear that most artists’ works prioritise ideas over aesthetics, even when it comes to the choice of materials used. The works of the Crisis artists greatly challenge exhibition viewers to engage with the concepts that the artists tackle and weave into their works.
When the world is in crisis, conceptual art has developed into a powerful medium to criticize and reflect on crises as they occur. Conceptual works are ultimately positively provocative, so that when viewers begin to understand the works, they will be encouraged and stimulated to engage actively with the issues presented, rather than simply consuming them passively.
Jimbafest, now on its 11th journey, 2024, again underscores its aim to position fine art in the form of an art project that is filled with more meaningful reflection and provocation, and also focuses on changing life for the better.
As the founder of Jimbafest, I can confirm that it is certainly not a coincidence that we mark the 11th anniversary of Jimbafest by involving 13 artists to respond to the ‘Crisis’ art project. The thirteen artists in each exhibition have attempted to reflect on and observe reality, to explore problems, to respond to what is happening in the world today, and to present a review of their respective positions as a case study, documenting the various declines in quality that have become the ‘crisis’ of life on this earth.
I welcome the ‘Crisis’ art exhibition as something conceptual that is filled with meaningful critical value and the potential to raise awareness. I hope that the works of the thirteen artists involved in the Crisis art project constitute an interesting interpretation, not only celebrating the artists’ desire to participate together as a group, but also forming an holistic picture of the major problems present in our current ‘Crisis’, many of which, ironically, are either hidden or subject to unexpected (and often undesirable) change.
Although this is just the beginning, or an initial step, I am sure that with good and sincere intentions, and with the support of the many parties who are taking part, Jimba Art Hall can become a new alternative venue able to accommodate and drive traditional, modern and contemporary art activities. For this, I would like to thank Yudha Bantono and Jean Couteau for their joint support in realizing the Crisis exhibition. To the artists who participated in the exhibition: the family of the late Made Wianta, Made Bayak, Gilang Propagila, Jango Pramartha, Wayan Upadana and Arkiv Vilmansa, and from abroad Paul Trinidad, Jon Terry, Jerremy Blank, Antony Muia, Vladimir Todorovic, I express my gratitude and highest appreciation. Also to the entire Jimba Art Hall development team that I cannot mention one by one, I express my gratitude. In just five weeks, what a daunting task! But together we prevailed!
I am sure that Jimba Art Hall will open up various possibilities, create new foundations and studies for artistic discourse and practice, offer ideas, dialogue and cooperation among various parties, and will involve cross-disciplinary efforts both nationally and internationally. Finally, the Crisis Art Exhibition is a way to open our eyes and hearts, so that we may realise that, once again our world is not okay. And from Bali we are not silent, but are speaking out for the good of the world.
2024 Jimbafest. All Rights Reserved