ART EXHIBITION

26 OCT - 26 NOV 2024

Ketika dunia berada dalam keadaan tidak sedang baik-baik saja, tentu itu berarti kita sedang dalam keadaan bahaya. Ungkapan ini sebagaimana anggapan terhadap peran seniman dalam menyuarakan sensitivitasnya melalui karya-karya yang sangat reflektif. Kemudian ketika membicangkan tema “Crisis”, diangkat dan disodorkan pada seniman yang dipamerkan di Jimba Art Hall dalam kaitannya dengan Jimbafest 2024, sebenarnya kita memang sedang diajak berefleksi pada keadaan yang sedang terjadi dalam kehidupan kita sendiri.

Cara pandang seniman yang terlibat dalam pameran Crisis memang sangat berbeda, bukan berarti tanpa kebetulan karya-karya mereka memang sangat bervariatif saat masuk ke wilayah crisis. Namun, ada kecenderungan bahwa setiap seniman memiliki upaya dengan melihat dan mengamati kenyataan yang sebenarnya. Karya-karya mereka berangkat dari upayanya menggali permasalahan, merespon apa yang terjadi, serta menghadirkan dan menyuguhkan ulasan sebagai sebuah studi kasus, melihat berbagai penurunan kualitas dari kehidupan di muka bumi ini, yang kemudian disebut Crisis. 

Krisis lingkungan, sosial, kebudayaan, dan kemanusiaan hampir saling terhubung satu dengan yang lainnya. Persoalan perubahan iklim yang sangat ekstrim, kekeringan, banjir, longsor, mencairnya es di dua kutup, polusi yang semakin meningkat, perang, kemiskinan, kekerasan, serta muncul dan merebaknya penyakit yang tidak pernah terduga menjadi sorotan tajam betapa memang dunia semakin dalam keadan tidak baik. Dari mana semua ini terjadi ?, kiranya pertanyaan ini dapat diraba dari perwujudan karya tiga belas seniman yang turut serta dalam pameran seni rupa “Crisis”.

Seniman-seniman itu diantaranya, yaitu dari Indonesia Made Wianta, Made Bayak, Gilang Propagila, Jango Pramartha, Wayan Upadana dan Arkiv Vilmansa. Sedangkan dari manca negara diantaranya Paul Trinidad, Jon Terry, Jerremy Blank, Antony Muia, Vladimir Todorovic, kesemuanya dari Australia, serta Stephan Spicher dari Switzerland. Ketiga belas seniman ini akan membawa gagasan yang telah mereka kerjakan sebagai bagian dari kekuatan karyanya. Dari karya-karya mereka nantinya akan menjadi pembicaraan yang lebih luas, bahkan menjadi bagian yang dapat membangun ruang kesadaran pemirsa, bahkan akan menjadi aksi konkret.

Tentunya ada penafsiran menarik dari karya-karya ketiga belas seniman yang terundang. Karya-karya mereka jelas  bukan hanya menunjukkan hasrat turut serta berselebrasi bersama dalam sebuah pameran semata, melainkan menjadi gambaran permasalahan besar “Crisis” yang memang sedang berkecamuk di dunia saat ini. Maka, saat dipahami karya seni yang akan dipamerakan tidak terbatas pada keindahan yang memberi nilai kepuitikan semata, tapi “lebih bermakna sesuatu”, tentunya memberikan kehati-hatian menempatkan isu Crisis untuk diaktualisasikan sebagai bahasa ungkap. 

Memang ada kecenderungan bahwa rata-rata para seniman sedang mengusung cara pandang seni kontemporer, dimana karya-karya mereka mewakili realitas yang diterjemahkan dalam beragam pengalaman, baik pertemuan masa lalu maupun masa kini yang saling mempertanyakan. Para seniman terlihat lebih teliti dan rinci mengamati persoalan, dan persaoalan itu mewakili di mana ia berada, baik tergambarkan maupun tak tergambarkan, dengan merasakan dan turut terdampak. 

Para seniman memiliki kecenderungan lebih menangkap persoalan ketimbang mengutamakan kesan yang ingin disampaikan. Lebih pendeknya ada upaya para seniman masuk pada wilayah penyadaran pada sesuatu yang kebanyakan orang belum merasakan, atau sudah tahu, tapi tidak tersentuh maupun tertarik untuk membicarakan dan dibicarakan. 

Ada beragam medium yang menjadi totalitas ekspresi yang kesemuanya dihasratkan menjadi pengingat atau warning. Photography, lukisan, patung, kartun, print, video atau film berdurasi pendek, seni instalasi, maupun happening art. Kesemuanya dari karya-karya mereka menunjukkan betapa para seniman sedang berupaya menunjukkan untuk merangkul sedekat mungkin pemirsa dalam memahami crisis dunia ini. 

When the world is not in a good state, in all likelihood this means that we are in some kind of danger, however small. And this is often a point of departure for many artists in voicing their sensitivity through what are often highly reflective works. With regard to the theme of ‘Crisis’, which was mooted and presented to the artists exhibiting at Jimba Art Hall in relation to Jimbafest 2024, we – as spectators – are likewise being invited to reflect on the current situation insofar as it impacts our own lives.

The perspectives of the artists involved in the Crisis exhibition are already quite varied, and to some extent their differences are also apparent in their responses to all kinds of crises. However, all are united in a tendency to observe and describe reality objectively, and each strives to explore problems, respond to what is happening, and to present and review, as if in a case study, the various declines in the quality of life on earth, brought together here as parts of the same theme, namely ‘Crisis’.

Environmental, social, cultural, and humanitarian crises are invariably interconnected and mutually influential. The issue of extreme climate change, drought, floods, landslides, the melting of the ice caps, increasing pollution, war, poverty, violence, and the emergence and spread of unexpected diseases – all highlight a general worsening of the world. Where did these problems originate? This is a question that the works of the thirteen artists participating in the ‘Crisis’ exhibition attempt to address.

The artists include, from Indonesia Made Wianta, Made Bayak, Gilang Propagila, Jango Pramartha, Wayan Upadana and Arkiv Vilmansa. Meanwhile from abroad we have Paul Trinidad, Jon Terry, Jerremy Blank, Antony Muia, Vladimir Todorovic (all from Australia), and Stephan Spicher from Switzerland. These thirteen artists will be sharing some of the ideas they have worked on, and that to some of them have become cornerstones of their work. Their individual work will later form part of a joint and more general discussion, one that is hoped to increase the audience’s awareness, and perhaps, ultimately, lead them to concrete action.

Of course there will potentially be multiple interpretations of the works of the thirteen invited artists. Their works clearly do not only show the desire to participate in celebrating together in an exhibition, but also represent a depiction of the major problems related to ‘Crisis’ which currently plague our world. It therefore needs to be acknowledged that the artwork that will be exhibited does not necessarily use beauty or poetic value as its guiding principle. Rather there is an emphasis on something ‘more meaningful’, and the subsequent positioning of the issue of Crisis, to be actualised as a language of expression.

The artists involved in the exhibition betray a contemporary art perspective, according to which their works represent reality based on various experiences, both past and present, that go together to form an ongoing dialectic. The artists pay special attention to detailed when observing a problem, whether said problem is immanent or far away, either depicted or otherwise, and either by engaging the feelings or through affectation.

 

The artists feel a greater need to capture a problem than to prioritise the impression they are aiming to convey. In short, there is an effort by the artists to enter the area of awareness of of a thing that most people have not yet experienced, or perhaps they know something of it but have not yet been touched by it or have not yet become particularly interested in discussing it.

There are of course various media that contain a totality of expression, many of which are often designed to provoke, stimulate or to warn. Photography, painting, sculpture, cartoons, print, short videos or films, installation art, and happening art – all represent efforts made by artists to embrace their audience as closely as possible and in turn nudge people closer to a realistic understanding of the various crises faced by the world.

CURATED BY

YUDHA BANTONO & JEAN COUTEAU