Wayan Upadana, karyanya lebih berbicara pada kenyataan kehidupan yang sangat sensitif dan rapuh. Crisis ia maknai bukan hanya pada realita yang ia lihat, tapi ia rasakan, termasuk bagaimana tubuh atau manusia sebagai subyek yang terdampak. Upadana membawa karya seri Napas. Pada karya ini terlihat ia ingin memberikan kesan yang ia analogikan kehidupan kenyataannya sangat fragile atau rapuh, dan tekanan dalam kehidupan itu menurutnya bagian dari krisis. Adanya tekanan atau tegangan dari seutas tali adalah gambaran bagaimana krisis itu telah menjerat dengan sangat kuatdan sangat membahayakan.
Banyak hal bisa saja terjadi di dalam kehidupan ini, krisis tidak bisa saja terjadi pada diri manusia ataupun di luar dirinya, yaitu di dalam lingkungannya. Peperangan, kelaparan, kekerasan, bencana alam kapanpun bisa terjadi dan dimanapun bisa terjadi. Di dalam kebudayaan pun bisa terjadi krisis. Pada karya seri “Nafas” jelasnya ia ingin menggambarkan tegangan dalam kehidupan keseharian manusia baik dari sisi personal, sosial, kebudayaan dan juga alam. Pastinya setiap orang maupun kehidupan ini perlu bernapas, sedangkan pada diri manusia sangatlah penting untuk memahami setiap kejadian yang dirasakan, dan memikirkannya untuk tetap bertahan menjadi manusia yang manusiawi.
Disamping karya seri Nafas, Upadana juga membawa karya seni instalasi. Karya ini merupakan kerangka awal dari ide dan gagasannya untuk menelusuri peradaban Sungai Petanu, yakni salah satu sungai yang banyak terdapat sumber-sumber mata air alami yang masih bisa konsumsi oleh masyarakat di sekitar alirannya. Namun, bagaimana dengan gempuran pariwisata, berdirinya hotel-hotel di pinggiran sungai dan perkembangan suatu wilayah akan berdampak terhadap keadaan air tersebut, dan akan menjadi pertanyaan bagi kelangsungan peradaban sungai itu sendiri. Apakah air Sungai tersebut masih dimanfaatkan oleh warga sekitar, atau akan menjadi kenangan yang digantikan air dalam kemasan?.
Instalasi ini juga menyoal tentang posisi Sungai dalam zona penting secara spiritual Bali. Zona ini sangat dihargai dan dijaga oleh masyarakat Bali. Sekitar aliran Sungai Petanu terdapat beberapa peninggalan bersejarah seperti Candi Yeh Pulu, Pura Penataran Sasih Pejeng, Goa Gajah dan sebagainya. Karya seni instalasi Upadana terdiri dari beberapa pulu (tempat air dari gerabah) yang berisi air. Karya ini sekaligus mengingatkan bahwa Masyarakat Bali dahulu menyimpan air minumnya di wadah pulu. Wadah ini juga dipakai untuk menyaring air secara alami. Di sini Upadana jelasnya ingin menarik ingatan masa lalu dari kearifan memanfaatkan air melalui wadah pulu, sebagai sebuah cara terbaik menjawab persoalan krisis air. Bahwa hulu sampai hilir air di Bali harus dijaga, dirawat dan dilestarikan bagi kehidupan yang lebih baik, saat ini maupun di masa mendatang.
The work of Wayan Upadana speaks more to the reality of life in all of its sensitivity and fragility. He interprets crisis not only based on the reality that he sees, but also that which he feels, including how the body, or human-as-subject is affected. Upada gives us the Napas series. This is where he impresses upon us the idea that life is truly very fragile, and that the pressures of life – according to him – form an unmistakable part of the crisis. Pressure – or the kind of tension created by a rope – is a depiction of how the crisis has tightly ensnared us and is therefore a danger not to be ignored.
Many things can ‘happen’ in this life, and crises do not simply happen by themselves, either to humans or their environment. War, famine, violence, and natural disasters can happen unexpectedly, any time and anywhere. Even culture can experience crisis. In the series of works ‘Nafas’, Upadana clearly wishes to describe tension in everyday human life, tension that can be personal, social, cultural, and even environmental. Just as every person in this life needs to breathe, for us as humans we also need to understand the events that we experience, and to think about how to survive them – as human beings.
In addition to the series of works Nafas, Upadana is also showing installation art. This is a work that represents the initial framework of his ideas and concepts in exploration of the civilization of the Petanu River, which is a river containing multiple natural springs that continue to be enjoyed by local people. However, there is a need to consider onslaught of tourism and the concomitant establishment of hotels on the banks of the river. This kind of development inevitably has an impact on the general condition of the river water, and places a question mark over the sustainability of the river civilisation itself. Will the river water continue to be used by local residents, or will it become a mere memory, replaced by bottled water?
Upadana’s installation also questions the position of the River in the spiritual life of what is considered an important area of Bali. This is an area highly valued and guarded by the Balinese people. Around the Petanu River there are several historical relics such as Yeh Pulu Temple, Penataran Sasih Pejeng Temple, Goa Gajah and so on. Upadana’s installation artwork consists of several pulu (water containers made of pottery) filled with water. The work also reminds us that Balinese people used to store their drinking water in pulu containers, and that these containers are also used to filter water naturally. Here, Upadana clearly wants to revisit memories of the past and the wisdom of treating and transporting water through pulu containers, as an effective way to tackle the water crisis problem. Both the upstream to downstream water in Bali must be maintained, cared for and preserved for a better life, both today and in the future.